Setiap perusahaan yang berorientasi profit maupun non profit, pasti mengenal apa yang disebut dengan ’efisiensi’. Kata ’efisiensi’ baru muncul ketika suatu perusahaan mengalami penurunan pendapatan atau mengalami penurunan keuntungan.
Kata efisiensi belum tentu terdengar dan bergema keras, kalau saja perusahaan atau institusi usaha tersebut mampu memaksimalkan keuntungan nya. Jadi kata efisiensi akan lahir ketika perusahaan atau institusi usaha mengalami ketidakmampuan meningkatkan produktivitasnya alias kinerjanya.
Sebagian besar perusahaan jika mengalami penurunan keuntungan, umumnya, langkah pertama yang dilakukan adalah menengencangkan ikat pinggang alias melakukan efisiensi di segala bidang.
Langkah efisiensi adalah mengurangi pos-pos pengeluaran yang dianggap tidak penting atau tidak perlu bagi operasional perusahaan. Yang ada dalam pikiran pimpinan perusahaan hanya bagaimana mengurangi pengeluaran apapun bentuknya, kalau perlu biaya untuk karyawan pun dikurangi.
Dalam masa krisis, fikiran pengelola perusahaan, adalah menyeimbangkan penghasilan perusahaan dengan pengeluaran yang dibutuhkan. Fokusnya hanya disitu-situ saja. Pada akhirnya perusahaan menetapkan strategi bertahan sambil mengurangi pengeluaran, termasuk mengurangi sumber daya manusianya.
Hanya sebagian kecil saja, pengelola perusahaan memahami bahwa untuk memaksimalkan keuntungan bukan dengan efisiensi alias berhemat.
Banyak para pakar bisnis bilang, bahwa perilaku berhemat adalah cermin seseorang yang tidak mampu memaksimalkan keuntungan atau orang yang selalu menerima apa adanya dari pendapatan yang pas-pasan itu. Ia tidak memiliki kemampuan untuk bisa keluar dari penghasilan yang pas-pasan itu. Semua tindakan yang bermuara kepada efisensi alias penghematan di segala bidang, pada akhirnya bangkrut …krut …krut … krut.
Lalu, bagaimana seorang pengusaha mampu lepas dari kondisi krisi semacam ini, dimana penghasilan perusahaanya semakin menukik tajam ?
Jawabannya adalah tetap fokus pada kualitas produk, pada kualitas pelayanan dan fokus pada stakeholders, termasuk para pelanggan dan pemasok.
Jika perusahaan hanya bisa fokus pada penghasilannya yang berkurang itu, maka apa yang terjadi ?. Perusahaan akan semakin merosot penghasilannya dan kemudian bangkrut bin pailit gitu lhooo…
Apabila perusahaan diibaratkan manusia, maka manusia dalam kondisi apapun, termasuk hidup dalam krisis keuangan, hubungan maupun kepercayaan, ia harus tetap menjaga stamina ketawaqalannya kepada Yang Maha Memberi Pertolongan, yakni Allah Swt.
Manusia diwajibkan untuk tetap ikhtiar, sabar dan senantiasa berfikir positip, dan dilarang keras untuk fokus kepada krisis itu terlalu lama, tetapi harus bisa sesegera mungkin beralih fokus kepada bagaimana keluar dari masalahnya itu.
Begitu pula perusahaan. Perusahaan dalam kondisi apapun harus tetap fokus pada kualitas produk, kualitas pelayanan dan kualitan hubungan, kalau mau selamat dalam masa-masa krisis yang dialami. Banyak contoh perusahaan-perusahaan besar (cuma ada di luar negeri) yang mampu keluar dari masa krisis tanpa istilah efisiensi dan tanpa merumahkan karyawannya.